HNW Serap Aspirasi di MAN 4 Jakarta
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengadakan serap aspirasi dengan para perwakilan sekolah madrasah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (13/8). Selain dihadiri perwakilan madrasah negeri se-DKI Jakarta, serap aspirasi juga diikuti perwakilan Kementerian Agama Jakarta serta para siswa dan siswi MAN 4 yang baru memenangkan medali emas dan perak dalam kompetisi science madrasah tingkat nasional.
Pada pertemuan tersebut, Kepala Sekolah MAN 4 Jakarta Nurlaelah menyampaikan aspirasi secara umum. Satu hal yang paling krusial adalah soal tunjangan kesejahteraan untuk guru madrasah khususnya di DKI Jakarta. Saat ini guru madrasah hanya mendapat tunjangan Kesra sebesar Rp 1 juta per bulan. ’’Tunjangan itu sangat berbeda dengan guru sekolah negeri di Jakarta yang mendapat tunjangan Kesra sebesar Rp 4 - 5 juta sebulan. Bahkan akan dinaikkan menjadi Rp 8 - 9 juta sebulan,’’ katanya.
Menurut Nurlaelah, perbedaan tunjangan Kesra antara guru madrasah dan negeri itu sangat mencolok. Apalagi, baru 52 persen guru madrasah yang mendapat tunjangan Kesra. ‘’’Kami berharap kenaikan tunjangan Kesra untuk guru madrasah di DKI Jakarta bisa diperjuangkan. Madrasah seolah dianaktirikan,’’ ujarnya.
Aspirasi itu mendapat dukungan dari wakil Persatuan Guru Madrasah DKI Jakarta yang hadir dalam pertemuan itu. ’’Baru 3000 guru yang mendapat tunjangan Kesra dari jumlah puluhan ribu guru madrasah. Kami hanya bisa mengelus dada,’’ tambah perwakilan Persatuan Guru Madrasah DKI Jakarta.
Aspirasi lain yang disampaikan adalah soal BOS untuk madrasah.‘’’Seharusnya BOS untuk madrasah lebih besar dari sekolah negeri. Karena kami ada lima pelajaran agama, biaya bukunya lebih besar,’’ kata Nurlaelah.
Selain dua masalah terkait dana, aspirasi lain yang disampaikan terkait sarana prasarana, dan kesamaan kesempatan untuk siswa madrasah mengikuti Olimpiade Science Nasional (OSN). Selama ini, siswa sekolah madrasah tidak diikutsertakan dalam OSN.
Menanggapi aspirasi dari perwakilan sekolah madrasah itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengakui adanya ketidakadilan anggaran untuk sekolah umum dan agama. ’’Kami hanya menyerap aspirasi. Kewenangan kami berbeda dengan eksekutif. Tapi kami bisa memperjuangkan dalam hal regulasi dan anggaran. Memang anggaran sekolah umum dan agama tidak wajar,’’ papar Hidayat.
Hidayat menambahkan, sudah beberapa kali membicarakan persoalan anggaran ini dengan menteri terkait.‘’’Sebab ini akan menjadi payung besar. Kalau ketidakadilan anggaran ini bisa diselesaikan, maka permasalahan sekolah madrasah bisa selesai juga,’’ kata anggota Komisi VIII DPR itu.
Berkaitan dengan kenaikan tunjangan Kesra untuk guru madrasah, Hidayat akan menyampaikan kepada DPRD DKI Jakarta. Hidayat juga membuka diri bagi para guru yang ingin menyampaikan aspirasi langsung ke gedung parlemen.
(Sumber : jawapos.com)
MPR: Diskriminasi Anggaran Pendidikan harus Distop
Undang-undang pendidikan nasional tidak membedakan antara sekolah umum dan sekolah agama. Karenanya semestinya tidak ada diskriminasi anggaran untuk pendidikan umum dan agama.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid mengatakan hal tersebut saat berdialog dengan para kepala sekolah dan pimpinan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) se-DKI Jakarta di MAN 4, Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Kamis (13/8/2015).
"Diskriminasi anggaran pendidikan harus dihentikan," katanya.
Pada kegiatan tersebut, Hidayat banyak menerima keluhan dan masukan dari pimpinan MAN terkait perbedaan perlakuan antara sekolah umum dengan sekolah agama. Salah satunya adalah dalam hal Tunjangan Kinerja Daerah (TKD).
Menurut Kepala Sekolah MAN 4, Nurlaelah bahwa para guru sekolah umum di DKI Jakarta mendapat TKD sebesar Rp 4 juta bahkan akan dinaikan menjadi Rp 9 juta. Namun, untuk guru sekolah agama hanya mendapat Rp 1 juta dan belum ada janji akan ada kenaikan.
"Padahal secara kualitas sekolah agama tidak kalah dengan sekolah umum," katanya.
Sementara menanggapi hal itu, Hidayat menyarankan agar para guru agama mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) agar mencabut peraturan yang diskriminatif terkait dengan sekolah agama.
"Undang-undangnya jelas tidak ada perbedaan antara sekolah agama dengan sekolah umum. Kalau ada peraturan yang terkesan diskriminatif bisa diajukan gugatan ke Mahkamah Agung agar aturan tersebut dicabut," ujarnya.
Hidayat juga menyampaikan, Komisi VIII DPR RI tengah berupaya membuat undang-undang yang akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pendidikan agama di tanah air, termasuk politik anggaran untuk sekolah agama.
Ia meyebutkan, adalah tidak adil jika anggaran untuk satu universitas negeri seperti Universitas Indonesia (UI) sama dengan anggaran untuk 14 Universitas Islam Negeri (UIN).
"Kita harapkan undang-undang ini cepat selesai sehingga diskriminasi dalam bidang pendidikan tidak ada lagi," tandasnya.
(Sumber : inilah.com)
HIDAYAT: DISKRIMINASI ANGGARAN PENDIDIKAN HARUS DIHENTIKAN
Undang-undang pendidikan nasional tidak membedakan antara sekolah umum dan sekolah agama. Karenanya semestinya tidak ada diskriminasi anggaran untuk pendidikan umum dan agama.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Hidayat Nur Wahid menyatakan hal tersebut saat berdialog dengan para kepala sekolah dan pimpinan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) se-DKI Jakarta di MAN 4, Pondok Pinang, Jakarta Selatan, Kamis (13/8/2015).
"Diskriminasi anggaran pendidikan harus dihentikan," katanya.
Pada dialog yang diselenggarakan dalam rangka kunjungan kerja untuk serap aspirasi sebagai anggota Komisi VIII DPR RI itu, Hidayat banyak menerima keluhan dan masukan dari pimpinan MAN terkait perbedaan perlakuan antara sekolah umum dengan sekolah agama. Salah satunya adalah dalam hal Tunjangan Kinerja Daerah (TKD).
Menurut Kepala Sekolah MAN 4, Nurlaelah, para guru sekolah umum di DKI Jakarta mendapat TKD sebesar Rp 4 juta, bahkan akan dinaikan menjadi Rp 9 juta. Namun untuk guru sekolah agama hanya mendapat Rp 1 juta. Dan belum ada janji akan ada kenaikan.
"Padahal secara kualitas sekolah agama tidak kalah dengan sekolah umum," katanya.
Kemudian jam mengajar guru di sekolah agama juga lebih panjang dibanding guru sekolah umum. Satu jam pelajaran di sekolah agama itu 55 menit, bukan 45 menit seperti di sekolah umum. Karena dalam sepekan jam belajar di sekolah agama adalah 52 jam.
"Wajar jika guru sekolah agama menuntut perlakuan yang sama dengan guru sekolah umum, karena jam mengajarnya lebih banyak ketimbang guru sekolah umum," terang Nurlaelah.
Menanggapi hal itu, Hidayat menyarankan agar para guru agama mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) agar mencabut peraturan yang diskriminatif terkait dengan sekolah agama.
"Undang-undangnya jelas tidak ada perbedaan antara sekolah agama dengan sekolah umum. Kalau ada peraturan yang terkesan diskriminatif bisa diajukan gugatan ke Mahkamah Agung agar aturan tersebut dicabut," terangnya.
Hidayat juga menyampaikan, Komisi VIII DPR RI tengah berupaya membuat undang-undang yang akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan pendidikan agama di tanah air, termasuk politik anggaran untuk sekolah agama. Ia meyebutkan, adalah tidak adil jika anggaran untuk satu universitas negeri seperti Universitas Indonesia (UI) sama dengan anggaran untuk 14 Universitas Islam Negeri (UIN).
"Kita harapkan undang-undang ini cepat selesai sehingga diskriminasi dalam bidang pendidikan tidak ada lagi," terang Hidayat.
(Sumber : wartaekonomi.co.id)
Hidayat Nur Wahid: Perbedaan Anggaran Sekolah Umum dan Madrasah tak Wajar
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengakui, ada ketidakadilan dalam penyediaan anggaran untuk sekolah umum dan agama. Terutama tunjangan kesra untuk guru -guru madrasah yang bahkan, sebagian besar dari jumlah guru tersebut belum menerima tunjangan.
Hidayat mengatakan, MPR hanya menyerap aspirasi masing -masing madrasah itu. Karena, kewenangan MPR berbeda dengan eksekutif. ''Tapi kami bisa memperjuangkan dalam hal regulasi dan anggaran. Memang anggaran sekolah umum dan agama tidak wajar," kata Hidayat, di Jakarta, Kamis (13/8).
Hidayat menambahkan, dirinyasudah beberapa kali membicarakan persoalan anggaran ini dengan menteri terkait. Sebab, kata dia, ini akan menjadi payung besar, dalam meningkatkan pos anggaran untuk sekolah madrasah. ''Kalau ketidakadilan anggaran ini bisa diselesaikan, maka permasalahan sekolah madrasah bisa selesai juga," ujar anggota Komisi VIII DPR itu.
Berkaitan dengan kenaikan tunjangan Kesra untuk guru madrasah, Hidayat akan menyampaikan kepada DPRD DKI Jakarta. Dia juga membuka diri bagi para guru yang ingin menyampaikan aspirasi langsung ke gedung parlemen.
Hidayat mengadakan kegiatan serap aspirasi dengan para perwakilan sekolah madrasah baik madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis 13 Agustus 2015.
Selain dihadiri perwakilan madrasah negeri se-DKI Jakarta, serap aspirasi juga dikuti perwakilan Kementerian Agama Jakarta, serta para siswa dan siswi MAN 4 yang baru memenangkan medali emas dan perak dalam kompetisi science madrasah tingkat nasional.
Dalam pertemuan itu, Kepala Sekolah MAN 4 Jakarta Nurlaelah menyampaikan aspirasi secara umum. Satu hal yang paling krusial adalah soal tunjangan kesejahteraan untuk guru madrasah khususnya di DKI Jakarta. Saat ini guru madrasah hanya mendapat tunjangan Kesra sebesar Rp 1 juta per bulan.
"Tunjangan itu sangat berbeda dengan guru sekolah negeri di Jakarta yang mendapat tunjangan Kesra sebesar Rp 4 - 5 juta sebulan. Bahkan akan dinaikkan menjadi Rp 8 - 9 juta sebulan," katanya.
Menurut Nurlaelah, perbedaan tunjangan Kesra antara guru madrasah dan negeri itu sangat mencolok. Apalagi baru 52% guru madrasah yang mendapat tunjangan Kesra, sementara 47 persen guru madrasah yang belum mendapat tunjangan Kesra. "Kami berharap kenaikan tunjangan Kesra untuk guru madrasah di DKI Jakarta bisa diperjuangkan. Madrasah seolah dianaktirikan," kata Nurlaelah.
Aspirasi itu juga mendapat dukungan dari wakil Persatuan Guru Madrasah DKI Jakarta yang hadir dalam pertemuan itu. Baru 3000 guru yang mendapat tunjangan Kesra dari jumlah puluhan ribu guru madrasah. ''Kami hanya bisa mengelus dada," tambah perwakilan Persatuan Guru Madrasah DKI Jakarta.
Aspirasi lain yang disampaikan adalah soal BOS untuk madrasah. Seharusnya, BOS untuk madrasah lebih besar dari sekolah negeri. Karena ada lima pelajaran agama, sehingga biaya bukunya lebih besar.
Selain dua masalah terkait dana, aspirasi lain yang disampaikan terkait sarana prasarana, dan kesamaan kesempatan untuk siswa madrasah mengikuti Olimpiade Science Nasional (OSN). ''Selama ini, siswa sekolah madrasah tidak diikutsertakan dalam OSN,'' tambah Nurlaelah.
(Sumber: republika.co.id)